Rabu, 22 Februari 2012

Dibandingkan dengan Sebelum Sumpah Pemuda Film Jauh Lebih Dulu Kenalkan Indonesia

Jakarta Tengoklah film “Eulis Atjih” (September 1927). Pada poster promosi film ini tertulis liat bagimana bangsa Indonesia tjoekoep pinter maen di dalem film, tiada koerang dari laen matjem film dari Europa atawa Amerika.

Fakta itu disampaikan sineas Riri Reza dalam diskusi 'Film dan Diplomasi' di ruang rapat Direktorat Jenderal Multilateral Kementerian Luar Negeri RI, Pejambon, sebagaimana dituturkan Shohib Masykur kepada detikcom, Rabu (22/2/2012).

"Satu tahun sebelum Sumpah Pemuda dideklarasikan, film ini sudah mengimajikan sebuah bangsa bernama Indonesia. Film ini sudah membentuk bangsa ini bahkan sebelum kita merdeka,” ujar Riri, dalam diskusi yang dibuka oleh Direktur Kerja Sama Teknik (KST) Siti N. Maulidiah dan diikuti oleh 25 peserta.

Oleh sebab itu, menurut Riri, film bukan semata-mata hiburan, melainkan merupakan identitas suatu masyarakat atau bangsa yang dicerminkannya. Pada saat yang sama, film juga menjadi alat bagi suatu bangsa untuk meneguhkan jati dirinya.

Barangkali tidak banyak yang tahu, bahwa sebelum Indonesia dibanjiri film-film Hollywood seperti sekarang ini, seorang artis Indonesia asal Jawa telah menancapkan kaki di lumbung perfilman Amerika tersebut.

"Dialah Dewi Dja, artis Indonesia pertama yang go international lewat peran yang dia mainkan di film-film Hollywood. Di zamannya, Dewi Dja merupakan mega bintang yang digandrungi oleh kalangan penikmat film tanah air," terang Riri.

Film dan Diplomasi

Dalam dunia diplomasi, film memainkan peran penting yang barangkali selama ini masih kurang disadari. Ekspansi budaya yang disajikan lewat film jauh lebih efektif untuk mengenalkan suatu negara dibanding media apapun.

Lihat saja Amerika. Saat negara-negara lain seperti Prancis dengan CCF-nya dan Jerman dengan Gothe Institute-nya berjuang keras agar orang mau menonton film-film mereka, Amerika tanpa susah payah telah mendapatkan jutaan pelanggan setia lewat Hollywood-nya.

"Melalui film-film Hollywoodlah kebudayaan Amerika, berikut cara hidupnya, diekspor ke berbagai negara. Pusat kebudayaan Amerika adalah bioskop 21 dan XXI,” jelas Riri.

Bagaimana dengan Indonesia? Menurut Riri, harus diakui bahwa film-film Indonesia saat ini masih belum banyak yang go international. Namun bukan berarti Indonesia tidak bisa. Potensi sebenarnya ada, dan sangat bisa dioptimalkan jika ada kemauan.

Dari pengalaman pribadi, Riri mengatakan beberapa filmnya telah melanglang buana ke berbagai negara lewat festival-festival film internasional. Ada juga sutradara-sutradara yang di dalam negeri kurang begitu dikenal, namun karyanya telah dinikmati oleh publik pecinta film di luar negeri.

Di sinilah kolaborasi antara aktor-aktor swasta dan pemerintah bisa dimanfaatkan. Pemerintah melalui perwakilan-perwakilan yang ada di seluruh dunia bisa menjadi supporting actors yang mendukung pengenalan film-film Indonesia di luar negeri.

Peran tersebut, menurut alumnus IKJ tahun 1992 ini, belum dimainkan secara maksimal. Padahal jika wahana film ini bisa digunakan secara optimal, banyak manfaat akan diperoleh Indonesia, salah satunya di bidang pariwisata.

“Sebagai ilustrasi, kunjungan wisatawan ke Belitung meningkat tajam setelah film Laskar Pelangi diputar. Dulu waktu kita syuting susah sekali mencari hotel di sana. Sekarang sangat gampang orang cari hotel. Penerbangan ke Belitung dulu cuma sekali sehari, sekarang tiga kali sehari,” tutur sineas muda yang tengah menggarap film Bumi Manusia ini.

Salah satu yang bisa dilakukan perwakilan-perwakilan Indonesia di luar negeri adalah mengadakan pameran atau festival film Indonesia. Mengenai ini, Azis Nurwahyudi, diplomat yang pernah ditugaskan di Praha dan berpengalaman menggelar pameran film Indonesia, memberikan tips-tipsnya.

“Yang paling penting adalah menentukan tema pameran,” kata Azis.

Menurut Azis, tema ini krusial supaya pameran itu memiliki fokus dan tujuan tertentu sehingga lebih efektif dalam menyampaikan pesan kepada pengunjung. Setelah tema ditentukan, kemudian pikirkan strategi promosinya.

"Promosi ini menjadi kunci karena akan menentukan berapa orang akan menghadiri pameran. Gunakan berbagai medium seperti poster, milis, dan terutama radio,” imbuhnya.

Faktor tempat penyelenggaraan juga harus diperhitungkan karena akan memengaruhi animo masyarakat untuk datang. Agar acara itu memiliki gaung kredibilitas, sangat penting untuk menggandeng tokoh setempat yang bisa menjadi patron acara.

"Semakin dikenal dan dihormati tokoh tersebut, semakin baik. Dan, ini yang harus dicatat: uang bukan yang paling penting. Kita bisa mencari sponsor. Jadi jangan menganggap ketiadaan dana sebagai kendala,” demikian Azis.

Media Ekspresi Masyarakat

Sebelum era 40-an, film-film Indonesia dibuat oleh warga keturunan Cina atau Eropa. Namun mulai tahun 40-an, bermunculanlah sineas-sineas dari kalangan warga Indonesia lainnya. Tokoh paling utama adalah Usmar Ismail yang namanya diabadikan menjadi Pusat Perfilman Usmar Ismail di Jl HR Rasuna Said, Jakarta.

Film Usmar berjudul “Citra” yang dirilis tahun 1947 menjadi asal muasal nama Piala Citra, penghargaan bergengsi yang diberikan kepada insan perfilman Indonesia layaknya Oscar untuk Hollywood.

Sedangkan hari pertama syuting filmnya yang berjudul “Long March,” yang bertepatan dengan tanggal 30 Maret, sampai saat ini diperingati sebagai Hari Film Nasional di Indonesia. Premiere film ini disaksikan oleh Presiden RI kala itu, Bung Karno.

Sejarah perfilman Indonesia adalah sejarah pengartikulasian ekspresi masyarakat ke dalam gambar bergerak. Dalam konteks itu, film hadir sebagai manifestasi dari apa yang tengah bergejala di masyarakat.

Karena itulah tema-tema yang diangkat dalam film pun akan selalu bisa dilacak asal-muasalnya dari kondisi sosial politik yang melingkupinya. “Film adalah jendela ke dan cermin dari sebuah bangsa,” imbuh sineas yang karya-karyanya perkasa di berbagai festival film internasional, antara lain Gie, Laskar Pelangi, dan Sang Pemimpi.

Tengoklah misalnya film-film besutan sutradara bertalenta Nyak Abbas Akup. Alumnus University of Southern California (USC) Amerika Serikat ini hadir dengan film-film yang boleh dibilang cukup menampar namun sekaligus jujur dalam mengekspresikan realitas masyarakatnya.

Film Inem Pelayan Seksi (1974) besutannya, yang dilanjutkan dengan Inem Pelayan Seksi 2 dan Inem Pelayan Seksi 3, merupakan satir sarat dengan muatan kritik sosial, termasuk kritik terhadap Persatuan Bangsa-bangsa (lewat PBB yang diartikan sebagai Partai Babu-babu, partai yang didirikan Inem). Pada masa itu film tersebut menjadi hits dan meraih sukses komersial luar biasa.

Film dia yang lain, Drakula Mantu (1974), dengan cermat menangkap ekspresi masyarakat Indonesia yang gandrung akan takhayul dan menghadirkannya dengan balutan komedi satir. “Film selalu mencoba menangkap ekspresi seni rakyat. Karena itu tidak mengherankan jika tema-tema horor dan seks tetap eksis sampai sekarang,” tandas Riri.

Medan Kontestasi Politik

Di era 50-an, saat terjadi pergolakan politik yang melibatkan pertentangan antara kaum kiri dan non-kiri, film menjadi salah satu medan kontestasi yang diperebutkan. Bachtiar Siagian adalah seorang sineas ternama kala itu yang berhaluan kiri.

Bernaung di bawah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang merupakan underbow Partai Komunis Indonesia (PKI), Bachtiar memproduksi film-film sarat dengan muatan kekirian, seperti Melati Sendja (1956) dan Tjorak Dunia (1956).

Sementara di kubu lain ada Usmar Ismail dan Asrul Sani yang merupakan seniman Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) di bawah Nahdlatul Ulama (NU) yang antikomunis.

Persinggungan film dengan politik era Prahara Kebudayaan itu masih bisa dilihat jejaknya sampai sekarang. Di Sinematex yang merupakan pusat data, dokumentasi, dan informasi perfilman Indonesia di bawah Yayasan Perfilman Usmar Ismail, arsip film-film karya sineas Lekra sangat tidak terawat, bahkan kebanyakan tidak lengkap.

Ini berbeda dengan film-film karya para sineas non-kiri, seperti Usmar Ismail dan Asrul Sani, yang disimpan secara sangat baik dan terawat. Fakta ini tak lepas dari peran Orde Baru yang secara sadar dan sengaja memberangus segala hal berbau kiri.

“Dari dulu film selalu dekat dengan politik dan kekuasaan,” simpul Riri.

Kedekatan film dengan politik dan kekuasaan juga bisa disimak dari film garapan Arifin C. Noer, salah satu sineas terbaik yang pernah dimiliki bangsa ini. Dari tangannya, film Pengkhianatan G 30 S/PKI yang merupakan propaganda sakti Orde Baru hadir di hadapan seluruh penduduk negeri ini.

Saat film berguna untuk menyingkirkan suatu narasi, di saat yang sama dia juga bermanfaat untuk menghadirkan narasi yang lain. Dan hal itu disadari betul oleh Orde Baru.


http://news.detik.com/read/2012/02/22/195905/1849414/10/film-kenalkan-indonesia-jauh-sebelum-sumpah-pemuda#queryString#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar