"Ini putusan aneh. Ini ada apa?" kata pengamat hukum Universitas Trisakti, Jakarta, Dr Yenti Garnasih, saat berbincang dengan detikcom, Rabu (29/2/2012).
Keanehan tersebut karena keduanya adalah aparat penegak hukum yang tahu rambu-rambu hukum. Apalagi bagi hakim, menerima suap adalah sebuah pelanggaran teramat berat. Oleh karenanya, seharusnyalah diberikan hukuman maksimal kepada Syarifuddin dan Kompol Brussel.
"Harus dihukum seberat-beratnya sesuai UU. Aturannya kan maksimal 20 tahun penjara. Kenapa tidak dihukum 20 tahun?" tanya balik Yenti dengan keheranan yang mendalam.
Menurut Yenti, hukuman ringan ini mencerminkan hakim yang masih melindungi teman-temannya sesama korps, lebih-lebih sesama hakim. Sehingga permasalahan bukan ada dalam UU tetapi moral aparat hakim yang menghukum. Padahal pada 2009 silam, Pengadilan Tipikor Jakarta pernah menghukum 20 tahun penjara jaksa karena menerima suap Rp 6 miliar.
"Kalau seperti ini, hukum mati saja penegak hukum yang menerima suap ratusan juta," ujar Yenti kesal.
Seperti diketahui, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Syarifuddin selama 20 tahun penjara tapi hakim hanya menghukum 4 tahun penjara. Sementara Kompol Brussel divonis 4,5 tahun penjara karena terbukti menerima suap senilai Rp 1 miliar dari tahanan narkoba asal Malaysia yang dibebaskan. Sedangkan mantan Kanit Reskrim Polsek Cicendo AKP Suherman yang merupakan anak buah Kompol Brussel menghukum 4 tahun penjara karena perkara yang sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar